Hakikat cinta dan hubungan dengan manusia.

Sejarah perjalanan umat manusia telah banyak memberikan nilai-nilai penting sebagai sandaran untuk memulai kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya. Lebih dalam dari itu, jika mencermati struktur paling dasar dari perjalanan umat manusia tentunya terdapat satu instrumen paling penting di dalamnya. Diketahui bahwa bila tidak ada hal tersebut nampaknya hidup hanya akan terasa hambar, bagai hitam tanpa putih, bagai lagit tanpa warna dan ibarat hal yang tidak menarik lainnya. Bahkan, insturmen tersebut sangat melekat dari awal penciptaan umat manusia yakni Adam dan Hawa sebagai pemersatu diantara keduanya. Instrumen yang dimaksud adalah kepastian mengenai cinta. Cinta menjadi aspek dari kehidupan yang sulit dan bahkan mustahil untuk dihilangkan. 

Kehidupan manusia yang telah ada sejak awal keberadaan manusia, seperti dalam kisah Adam dan Hawa. Melalui pendekatan psikologi dan filsafat, penelitian ini mengeksplorasi paradigma cinta yang umumnya dialami manusia. Secara psikologis, cinta diinterpretasikan sebagai tanggung jawab individu dewasa dalam memilih pasangan hidup, baik dalam konteks pernikahan maupun pranikah. Psikoanalisis menyarankan bahwa cinta mungkin sulit dipahami secara ilmiah, namun memberikan wawasan untuk menciptakan hubungan cinta yang sehat. Dari sudut pandang filsafat, Plato menggambarkan cinta sebagai kekuatan maha dahsyat yang menciptakan energi positif dan mampu menghapus kebencian. Menurutnya, proses pencarian cinta merupakan bagian yang indah dari pengalaman manusia, yang berujung pada penyatuan jiwa yang sudah bersatu secara alamiah.

Dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah kualitatif dengan pengumpulan data dari laporan-laporan tertulis dan hasil studi dari berbagai sumber pustaka yang relevan dengan topik penelitian. Pendekatan yang diadopsi adalah studi kepustakaan, yang bertujuan untuk mengumpulkan beragam jenis data dan informasi dengan memanfaatkan buku, naskah, artikel ilmiah, dan jurnal sebagai sumbernya. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif, yang mengacu pada pemahaman logis untuk menjelaskan makna-makna yang terkait dengan topik penelitian. Analisis isi dilakukan dalam penarikan kesimpulan terkait dengan pembahasan utama dari hasil penelitian. Dengan demikian, pendekatan kualitatif dan studi kepustakaan menjadi landasan metodologis yang memungkinkan pemahaman yang mendalam tentang paradigma cinta dalam perspektif psikologi dan filsafat.

 Cinta diartikan sebagai perpaduan dari tiga komponen utama: keintiman, komitmen, dan gairah. Menemukan pasangan hidup merupakan tanggung jawab individu dewasa awal, baik dalam konteks pernikahan maupun hubungan pranikah. Definisi cinta memiliki berbagai versi penjelasan, namun Sternberg menekankan bahwa cinta ideal melibatkan keintiman, komitmen, dan gairah. Meskipun cinta ideal tidak selalu membawa kebahagiaan mutlak, namun kompleksitas cinta setiap individu menciptakan potensi konflik dan polemik dalam hubungan. Konflik dalam hubungan cinta juga dapat berujung pada kekerasan yang merugikan salah satu atau kedua belah pihak, bahkan hingga menyebabkan kematian. Oleh karena itu, pemahaman yang mendalam tentang dinamika cinta dan komunikasi yang efektif sangat penting dalam menjaga keharmonisan dan keselamatan dalam hubungan manusia.

Dalam pembagiannya gaya cinta sendiri menurut John Lee selain agape dan mania terdapat 4 jenis gaya lain, yaitu romantis (eros), main-main (ludos), cinta kawan baik (stronge), dan pragmatik (pragma) (Taylor, 2009). Pada umumnya, setiap individu memiliki interest terhadap dua sampai tiga gaya cinta dalam menjalin relasi hubungannya. Pada keenam gaya tersebut kecenderungan gaya cinta positif disematkan pada gaya eros (romantis) dan gaya stronge (cinta kawan baik). Sementara keempat lainnya dinilai cenderung lebih memberikan dampak negatif karena diyakini sangat mempengaruhi tekanan mental yang cukup signifikan (Taylor, 2009). Cannary (1997) mengklasifikasikan gaya cinta ke dalam aspek kecenderungan maskulinitas dan feminitas. Menurutnya, gaya cinta main-main (ludos) dan romantis (eros) lebih identik dengan karakter maskulinitas. Sementara itu, gaya cinta posesif (mania) dan pragmatis identik dengan feminitas tetapi secara keseluruhan keenam gaya cinta memiliki keterkaitan yang cukup erat bersama dengan karakteristik feminitas dibandingkan dengan maskulinitas yang hanya cenderung menerapkan gaya cinta main-main (ludos) dalam menjalani relasi cinta (Cannary, 1997). Dengan demikian, dapat diambil sebuah keterangan bahwasannya perempuan lebih tertarik menjalani hubungan cinta dengan memaknainya sebagai kedekatan emosional atau dalam artian lain perempuan menjalani cinta didasarkan pada keakraban yang menyenangkan dengan diwakilkan oleh gaya cinta yaitu ada pragma, mania, strong, dan agape. Di sisi lain laki-laki lebih cenderung menerapkan pola-pola hubungan gaya cinta dengan didasari ketertarikan pada fisik jasmaniah atau dalam bahasa gaya cintanya adalah gaya eros (cinta romantis) dan gaya ludos (cinta permainan) (Dayakisni & Hurdaniah, 2009).

SIMPULAN 

Pada akhirnya cinta tidak hanya sekedar tentang “jatuh cinta” saja. Melainkan banyak hal misterius yang mesti dipahami mengenai cinta tersebut. Pada waktu cinta hadir dan mulai menunjukkan cara kerjanya, menikmati setiap bagian darinya adalah suatu hal yang indah dan layak untuk direnungkan sebagai salah satu jalan kebahagiaan. Karena dengan cintalah terkadang manusia baru menyadari bahwa dirinya adalah manusia. Serta, ketika dua insan jatuh dalam keindahan cinta hanya kesatuan sebagai manusialah yang senantiasa diharapkannya dan bukan tentang keterpisahan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dibalik Kemenangan: Analisis Kinerja dan Kiat Sukses Tim Indonesia di Kejuaraan IESF Bali 2022

Literature Riview 20 Jurnal

Penelitian Terkait Kilas Perkembangan Media Sosial.